Kali ini Gowes Wisata mencoba rute gowes yang relatif datar saja setelah puas dengan rute tanjakan dipetualangan gowes sebelumnya hehe...yak benar sekali, destinasi gowes kali ini adalah mencoba menyusuri Selokan Mataram ke arah barat dengan start mulai dari Bulaksumur UGM. Sebelum menyimak petualangan gowes kali ini, saya akan memaparkan beberapa hal mengenai Selokan Mataram
Selokan Mataram, bagi masyarakat Jogja asli pastilah sudah mengenal betul saluran irigasi ini bahkan mungkin setiap hari melewatinya saat hendak pergi beraktivitas. Tetapi bagi para turis atau pendatang luar Kota Jogja yang belum tahu, pastilah mempunyai bayangan tentang definisi selokan yang sempit, keruh, jorok, dan bau hehe... ternyata salah sama sekali karena Selokan disini mempunyai arti yang tidak seburuk persepsi tentang selokan sempit, keruh, dan bau tadi
Saluran Mataram adalah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo di ujung barat dan Sungai Opak di ujung timurnya, awalnya bernama Kanal Yoshiro pada masa penjajahan Jepang, tetapi masyarakat saat ini lebih mengenalnya dengan sebutan Selokan Mataram yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menjadi bagian dari jaringan saluran induk Mataram.
Selokan Mataram yang memiliki panjang 31,2 km, dibangun pada masa pendudukan Jepang. Kala itu Jepang sedang menerapkan Romusha atau kerja paksa untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia, ataupun untuk membangun sarana prasarana yang akan digunakan oleh militer Jepang untuk berperang melawan tentara sekutu di Pasifik.
Ditengah gencarnya Romusha, Raja Yogyakarta saat itu, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX berusaha menyelamatkan warga Yogyakarta dari kekejaman Romusha. Dengan cerdiknya Beliau melaporkan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering, hasil buminya hanya berupa singkong dan gaplek. Oleh karena itu Sri Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warganya diperintahkan untuk membangun sebuah saluran air yang menghubungkan Kali Progo di ujung barat (berhulu di Dusun Ancol, Kabupaten Magelang) dan Sungai Opak di ujung timur (Kalasan), dengan demikian lahan pertanian di Yogyakarta yang kebanyakan adalah lahan tadah hujan yang pengairannya sangat bergantung kepada curah hujan juga tetap dapat diairi pada musim kemarau sehingga mampu menghasilkan padi dan bisa memasok kebutuhan pangan tentara Jepang.
Usulan Sri Sultan tersebut akhirnya disetujui oleh pihak Jepang sehingga terbebaslah warga Yogyakarta dari penerapan kebijakan dan kekejaman Romusha. Selain itu dengan pembangunan saluran air tersebut secara tidak langsung juga ditujukan untuk kemakmuran warga Yogyakarta sendiri.
Disinilah konsep Tahta Untuk Rakyat benar-benar terbukti dan teruji waktu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mampu meredam silaunya cahaya kekuasaan dan tetap mengabdi untuk kepentingan rakyat. Selokan Mataram pun menjadi monumen sejarah terpanjang di Indonesia. Sampai akhir hayat beliau, monumen ini masih berfungsi sampai sekarang.
Menurut legenda, diceritakan bahwa Sunan Kalijaga pernah berucap bahwa Yogyakarta bisa makmur jika Kali Progo dan Sungai Opak bersatu. Hal tersebut mungkin ada benarnya, namun kedua sungai itu bukan bersatu secara alami melainkan disatukan melalui saluran air yang menghubungkannya. Kenyataannya saat ini warga Yogyakarta menjadi lebih makmur daripada sebelum adanya Selokan Mataram, dan Selokan itu sendiri kini telah mengairi ribuan hektar lahan pertanian yang sampai saat ini masih menghijau bahkan pada saat musim kemarau. Bahkan hingga saat ini Selokan Mataram juga telah dikenal sebagai salah satu Landmark Kota Yogyakarta.
Sayangnya seiring dengan perkembangan zaman, Selokan Mataram sendiri tak luput terkena imbas modernisasi sebuah kota yang ditandai dengan menyusutnya lebar Selokan Mataram yang berada didalam Kota Yogyakarta menjadi +/- 3-4 m. Selain itu perilaku buruk masyarakat yang berdomisili disepanjang saluran air ini turut memperparah kondisi Selokan Mataram sehingga di beberapa titik Selokan banyak ditemui sampah yang dibuang begitu saja oleh warga kedalam Selokan Mataram. Bahkan dibeberapa dinding jembatan dan turap juga banyak ditemui "buah kreativitas negatif vandalisme" berupa corat-coret jahil yang tak bertanggungjawab. Sungguh sebuah ironi sejarah dibalik kisah yang menyertai awal pembangunan saluran air Selokan Mataram ini
suasana Selokan Mataram di pagi hari, mendekati pinggir kota sehingga lebar selokan masih relatif luas (sekitar 10-12 m)
Untunglah kali ini cuaca cukup bersahabat setelah beberapa hari sebelumnya Hujan selalu turun membasahi Kota Yogyakarta
Beberapa anak SD tampak sedang sibuk melakukan kegiatan kerja bakti di sekolahnya
Makin kebarat menjauhi pusat kota, suasana tenang pun semakin terasa
Awal-awal pindah ke Jogja dulu saya sempat bingung saat melihat turunan ini, fungsinya untuk apa ya?
Ternyata untuk memandikan ternak warga hehe...
Semakin jauh saya mengayuh pedal ini, segarnya bau tanah dan rerumputan pun semakin membuat semilir suasana
Si Seli tempur pun menyempatkan berpose narsis dengan background Gunung Merapi dan hamparan sawah
Lets' go traveling
Terus mengayuh sampai akhirnya rute aspal pun berubah menjadi jalur offroad (haduuhhh seli sayah harus berjuang lagi hehe...)
Kondisi rutenya benar-benar tidak berperike-seli-an
Jalur tanah pun masih berlanjut
Setelah melalui perjalanan yang tidak berperike-seli-an ini sepanjang kurang lebih 1 km, sampailah saya di Pintu air yang sepintas terlihat seperti buntu, karena terhalang Kali Krasak yang membentuk cerukan sedalam 5 meter
Di pintu air ini ternyata juga menjadi acuan batas wilayah DIY
Bila sebelumnya selokan akan melalui jembatan yang melintas di atas sungai, maka disini jembatan itu tidak ada. Lalu lewat mana selokan tersebut mengalir? Ternyata air mengalir melalui saluran di bawah tanah, lalu naik lagi di seberangnya, hebatnya adalah tak ada pompa sama sekali! Hukum fisika bahwa permukaan air akan selalu rata ternyata dipraktekkan disini.
Karena tak ada jembatan secara langsung maka untuk keseberang ada 2 pilihan, yaitu bisa kembali melalui jalur aspal jalan raya, atau masuk melalui jalan kampung (ikuti jalan saja) sampai bertemu masjid, kemudian belok kekiri, nanti akan ditemui jembatan desa seperti ini
Melalui jembatan desa inilah kita dapat menyeberangi Sungai Krasak
Ternyata sepeda saya memang seperti sepeda bocah ya hehe, pantas saja setiap gowes selalu dikira bocah nyasar...:p
Setelah menyeberangi Jembatan tinggal belok kanan, ketemu pertigaan kekiri, pertigaan kanan lalu kiri ikuti jalan saja, sampai nanti menembus jalan aspal (ga rata) dengan pemandangan seperti ini
Sumur dipinggir sawah (untunglah adanya disawah, kalau ditengah hutan pastilah sumurnya Sadako hehe)
Bisa buat kartu pos nih background pemandangannya...:)
Ternyata sudah sampai Kabupaten Magelang
Akhirnya sampai juga di Dusun Ancol yang merupakan hulu selokan Mataram
Derasnya aliran Sungai Progo
Bendungan Karang Talun yang membendung aliran Sungai Progo
Sembari beranjak pulang menyusuri jalan sepenjang saluran irigasi sampai di Pintu air yang membagi aliran air menjadi 2
Saat pulang pun sempat terbersit dibenak saya bagaimana futuristiknya pemikiran para pemimpin dan tokoh-tokoh besar Negeri ini zaman dulu, bagaimana mereka sanggup merencanakan proyek pembangunan serumit, dengan peralatan yang sederhana, ini dan tidak lupa tetap memegang teguh prinsip bahwa semua yang dilakukan semata-mata tidak lain adalah untuk kebaikan masyarakat yang diayomnya. Sungguh jauh berbeda jika dibandingan pola kepemimpinan yang ada saat ini, paling tidak dari napak tilas perjalanan sejarah ini banyak pelajaran tentang hidup, kepemimpinan, kesatuan, dan kemaslahatan yang saya dapat. Semoga pembaca blog ini pun mendapat manfaat seperti halnya yang saya rasakan :)
mari pulang (perjalanan saya pun masih jauh ternyata hehe...)
Tambahan sumber referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Saluran_Mataram
- http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/sport-and-adventure/selokan-mataram/
- http://kotajogja.com/wisata/index/Selokan-Mataram
Home
»
catatan gowes
»
Wisata Sejarah
»
Yogyakarta
» Selokan Mataram ; Sebuah ironi sejarah imbas modernisasi kota
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment