Berada diantara sempitnya jalan yang menjadi penghubung antar kampung dan rumah warga di wilayah Kotagede, ada satu bangunan bergaya arsitektur kuno yang cukup besar, megah, sekaligus unik yang menarik perhatian saya, bangunan tersebut bernama Rumah Pesik
Jika dibandingkan dengan kondisi jalan didepannya yang rata-rata hanya mempunyai lebar sekitar 2m, maka keberadaan rumah ini sangatlah kontras. Sebuah rumah kuno yang besar dan megah didalam suatu lingkungan atau wilayah dengan jalan dan lorong-lorong yang sempit
Namun jangan bayangkan kondisi jalan yang sempit ini seperti sebuah hunian kumuh padat penduduk seperti yang sering kita lihat di kota-kota besar metropolitan lainnya. Kondisi jalan dan lorong-lorong sempit di Kotagede ini hampir semuanya terawat cukup baik. disisi kanan dan kiri jalan pun banyak berdiri bangunan kuno lainnya dengan gaya arsitekturnya yang cukup unik, yang tidak dapat ditemukan di wilayah lain Kota Yogyakarta
Bangunan-bangunan kuno yang besar dan megah serta merupakan heritage ini seperti menyuguhkan jejak kejayaan Kotagede di masa lalu. Jejak kejayaan Kaum Kalang yang di masa lalu memang merupakan sosok tekun dan berhasil dalam bidang ekonomi cukup memberi warna bagi sejarah perkembangan Kotagede.. Sehingga banyak masyarakat Yogyakarta yang menyebut bangunan-bangunan tersebut dengan sebutan Rumah Kalang, tempat tinggal Wong Kalang (dahulu, namun kini banyak yang telah kosong)
Rumah Pesik adalah salah satu bangunan yang menjadi daya tarik diantara sekian banyak bangunan kuno besar dan megah lainnya yang berada diwilayah Kotagede, di rumah milik Rudy J. Pesik (pemilik perusahaan DHL) inilah tokoh buruh yang kemudian menjadi Presiden Polandia (1990-1995) sekaligus penerima nobel perdamaian pada tahun 1993, Lech Walesa pernah tinggal (menginap). Sebagai bentuk kenangan akan hal itu maka didepan pintu masuk rumah terpasang prasasti bertanda tangan Walesa
Untuk lebih memahami keunikan Rumah Pesik serta bangunan kuno lainnya yang berada di Kotagede, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai Kaum Kalang (Wong Kalang), karena melalui kisah mereka jugalah, sejarah kejayaan Kotagede ini bermula dan berkembang. Hal ini sesuai dengan catatan dari Hubertus Johannes Van Mook (Lt. Gubernur Jend. Hindia Belanda) yang mengatakan bahwa daerah Kotagede dahulu merupakan tempat perdagangan yang ramai dan terbesar di Hindia Belanda
Sebutan Wong Kalang muncul karena pada jaman Sultan Agung mereka dikalangi (tempat tinggal mereka dipagari) sehingga terpisah dengan masyarakat lain. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tujuan dari pengalangan tersebut adalah karena mereka dijadikan hamba-hamba raja yang memiliki tugas khusus. Kemahiran mereka dalam membuat benda-benda dari kayu (mungkin ini ada kaitannya dengan asal mereka, Bali), menyebabkan orang Kalang diserahi tugas mendirikan bangunan-bangunan istana. Mereka membuat istana dan bahkan masjid untuk raja
Salah satu cerita tentang Kaum Kalang yang terkenal adalah sosok Prawirosoewarno, mungkin orang tidak akan mengenalnya, tapi bagi masyarakat Yogyakarta terutama yang telah menjadi “sesepuh”, sebutan “Bekele Tembong” mungkin akan lebih familiar dibenak mereka.
Prawirosoewarno atau lebih dikenal dengan sebutan “Bekele Tembong”, lahir di Kotagede, Yogyakarta pada tahun 1873. Ia lahir dari keturunan Brajasemito-Demang. Dengan latar belakang orangtuanya sebagai keturunan seorang pedagang sukses secara turun-temurun, serta mempunyai strata sosial yang tinggi, dimana mempunyai hubungan yang cukup penting dengan keluarga keraton, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta (orang Kalang memang kaya, pebisnis yang handal dan ahli dalam seni membangun rumah, merekalah yang dipakai oleh Sultan untuk membangun keraton), Prawirosoewarno pun menjalankan bisnisnya dibantu dengan anaknya, Noerijah, di kawasan Tegalgendoe, Kotagede, Yogyakarta. Usaha bisnisnya antara lain adalah mengelola rumah gadai serta berdagang emas dan berlian
Alkisah “Bekele Tembong” adalah seorang Saudagar Kalang dari Kotagede yang hidup di era abad ke-19, yang membuat namanya menjadi istimewa adalah karena permintaan “Bekele Tembong” kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk memasang ubin rumahnya dengan menggunakan uang Gulden yang bergambar Ratu Belanda, tentu saja hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Pemerintah Hindia Belanda karena jika koin bergambar Ratu Belanda tersebut dijadikan ubin yang notabene fungsinya untuk diinjak, maka hal tersebut sama saja dianggap sebagai bentuk penghinaan kepada Ratu mereka, karena setiap orang yang berkunjung kerumah tersebut tentu saja secara otomatis akan menginjak ubin koin (gambar Ratu) tersebut.
Belanda pun kemudian berdalih bahwa koin tersebut boleh saja dijadikan ubin dengan syarat pemasangan koin tersebut harus secara vertikal, sehingga gambar sang ratu tidak akan terinjak. Disinilah letak kelicikan Belanda, karena dengan pemasangan koin secara vertikal tentunya akan membutuhkan jumlah koin yang lebih banyak jika dibandingkan dengan memasang koin secara horizontal
Walaupun pada akhirnya koin gulden tersebut tidak jadi digunakan sebagai ubin, namun cerita mengenai “Bekele Tembong” pun akhirnya diingat orang sebagai symbol perlawanan sekaligus “aroganisme” dari seorang Saudagar pribumi yang mampu membayar pegawai dari etnis Eropa, yang mana pada jaman itu hal tersebut merupakan suatu yang tidak lazim
Versi lain juga mengatakan bahwa Wong Kalang adalah orang (kaum) yang mempunyai ekor, namun sepertinya versi ini merupakan cerita isapan jempol saja, karena menurut pendapat lain menyebutkan bahwa mereka sengaja dikucilkan oleh masyarakat, mereka dianggap golongan rendah karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ada yang menyebut bahwa pengucilan ini justru karena rasa iri atas keberhasilan orang-orang Kalang dibidang materi. Dahulu orang-orang Kalang menerapkan endogami (kawin diantara sesama mereka). Mungkin dari sinilah muncul cerita soal ekor tadi
Ada satu ritual menarik dari kelompok ini yaitu Kalang Obong, sebuah upacara pembakaran pakaian dari orang yang meninggal. Dulu upacara ini selalu dilaksanakan hingga akhirnya berhenti di tahun 1955 dengan alasan yang belum diketahui hingga saat ini. Tahun 1990 ada yang berusaha menghidupkan kembali tradisi ini dengan menyelenggarakan Kalang obong di Adipala, Cilacap, namun usaha tersebut lagi-lagi tidak ada kelanjutannya hingga kini
Di Jawa, orang Kalang tersebar hampir di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komunitas Kalang ditemukan mulai dari Cilacap, Adipala, Gombong, Ambal, Karanganyar, Petanahan, Solo, Tulungagung, hingga Malang. Di utara Jawa, tercata di kota-kota seperti Tegal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Pati, Cepu, Bojonegoro, Surabaya, Bangil, hingga Pasuruan terdapat komunitas Kalang
Tambahan sumber referensi :
- http://indonesiadalamkenangan.blogspot.com/2012/12/sejarah-samar-kaum-kalang.html
- http://misterikaumpinggiran.blogspot.com/2011/06/wong-kalang.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment