Situs Warungboto
(27/04/15) Sebenarnya sudah sejak 3 tahun yang lalu saat saya baru pindah ke Jogja keberadaan tempat ini sering saya lewati, tetapi (akhirnya setelah sekian lama) baru kali ini saya memutuskan mencoba untuk melihat secara lebih detail tentang tempat ini
Dan karena jaraknya yang cukup dekat dari kediaman saya maka saya pun berkunjung kesini tidak dengan bersepeda, melainkan cukup berjalan kaki saja sehingga lebih fleksibel untuk menyusuri gang-gang pemukiman penduduk yang ada disekitarnya
Akses menuju lokasi ini cukup mudah, dari perempatan pabrik susu SGM ikuti saja jalan veteran ke arah selatan, setelah melewati tikungan pertama maka kira-kira 100m kemudian sampailah ke lokasi Situs Warungboto yang berada di sisi kiri jalan, bersebelahan dengan lokasi pemakaman warga dan berada tepat diseberang gerbang Kampung Muhammadiyah Warungboto
Dari jalan utama mungkin tak banyak yang menyadari keberadaan cagar budaya ini, terlebih dengan kondisi fisiknya saat ini yang sekilas terlihat seperti puing-puing bongkaran rumah, padahal dahulu bangunan pesanggrahan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II ini (sekitar tahun 1800-an) merupakan salah satu pesanggarahan yang cukup terkenal sebagai tempat pemandian atau Taman Air dan peristirahatan keluarga keraton (konon dahulu juga dipakai oleh kalangan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk bersemedi dan menjalani laku prihatin), bahkan nama tempat ini yang awalnya bernama pesanggrahan Rejowinangun juga tercatat dalam salah satu tembang macapat yang berkisah tentang kemajuan yang dicapai semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II, bersamaan dengan Situs Gua Seluman yang berada di dekat blok O
Melihat sisa-sisa puing cagar budaya ini sungguh miris karena seperti terabaikan, satu-satunya bentuk perhatian dari instansi yang berwenang hanyalah papan nama yang menandakan bahwa tempat ini merupakan cagar budaya serta papan informasi singkat mengenai sejarah tempat ini, selain dari itu tidak tampak ada upaya perbaikan maupun penataan ulang kembali fungsi tempat ini. Padahal jika saja cagar budaya ini diperbaiki, ditata ulang, dan dikembalikan fungsinya seperti halnya yang dilakukan di obyek wisata Taman Sari bukan tidak mungkin cagar budaya ini menjadi “hidup” kembali dan dapat menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dan wisatawan terhadap sejarah peradaban bangsa ini
Papan informasi singkat mengenai sejarah cagar budaya ini
Sisi timur bangunan Situs Warungboto
Areal taman dan kolam yang berada di bagian tengah bangunan dan sepertinya menjadi inti dari aktivitas yang terjadi di masa lalu
Seandainya fungsi kedua buah kolam ini diperbaiki, dibersihkan, serta difungsikan lagi tentunya tempat ini menjadi lebih indah dan pengunjung juga bisa membayangkan seperti apa aktivitas yang dahulu dilakukan ditempat ini, terlebih tempat ini juga merupakan peninggalan Sultan HB II yang semestinya dipertahankan dan dirawat sebagai bukti sejarah kemajuan dan kejayaan peradaban bangsa
Kolam kecil berbentuk lingkaran berdiameter 4,5m dengan kedalaman 0,75m dan bagian tengahnya memiliki sumber pancuran air atau umbul
Sayangnya masih ada saja ulah vandalisme berupa corat-coret yang dilakukan oleh oknum yang tidak menghargai sejarah bangsanya, dan menganggap aksi bodohnya merupakan hal keren
Salah satu ruangan yang ada untuk menuju kolam
Melihat bentuk ruang seperti ini saya malah jadi punya ide untuk membuat konsep foto layaknya foto prewed hehe…:)
Mungkin bisa juga dijadikan alternatif tempat untuk kalian yang ingin membuat foto prewed ataupun sekedar photo shoot
Setidaknya jika nantinya tempat ini lebih dikenal oleh publik maka semoga kedepannya juga akan ada perhatian dari instansi terkait untuk memperbaiki cagar budaya ini
Hiasan patung manuk beri yang biasa terdapat di bangunan pesanggrahan atau tempat pemandian
Bagian dari pintu lengkung serta dinding-dinding yang kini telah menjadi puing
Di perjalanan pulang dari situs Warungboto ini bahkan saya sempat melihat ada papan penanda bertuliskan Umbul Wadon yang sepertinya adalah mata air tetapi entahlah dimana lokasinya kini, justru kata-kata dibawahnyalah yang semestinya perlu mendapat perhatian ekstra untuk kita renungkan bersama
Entahlah sampai kapan cagar budaya seperti ini dapat terus bertahan ditengah derasnya gempuran arus modernisasi di Kota Yogyakarta, apakah ia tetap berdiri menjadi saksi bisu perkembangan zaman namun kehadirannya hanya sebatas formalitas tanpa arti, ataukah masih ada pihak-pihak yang terketuk hatinya untuk melestarikan dan mengajarkan arti dari kehadirannya serta nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya kepada generasi berikutnya supaya mereka dapat tumbuh dan belajar menjadi generasi penerus bangsa tanpa melupakan identitasnya yang berpijak kepada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal bangsanya sendiri
“only when the last tree has been cut down, the last fish has been caught, and the last stream poisoned, we will realize we cannot eat money”
0 comments:
Post a Comment